Perkembangan Pemikiran Manusia Dalam Menyikapi Fenomena
Alam Manusia sebagai makhluk yang berpikir akan dibekali rasa ingin tahu. Rasa
ingin tahu inilah yang mendorong untuk mengenal, memahami, dan menjelaskan
gejala-gejala alam, juga berusaha untuk memecahkan masalah atau persoalan yang
dihadapi, serta berusaha untuk memahami masalah itu sendiri, ini semua
menyebabkan manusia mendapatkan pengetahuan yang baik. Pengetahuan yang
diperoleh mula-mula terbatas pada hasil pengamatan terhadap gejala alam yang
ada, kemudian semakin bertambahnya dengan pengetahuan yang diperoleh dari hasil
pemikirannya, setelah manusia mampu memadukan kemampuan penalaran dengan
eksperimentasi ini, maka lahirlah ilmu pengetahuan yang mantap atau bagus.
Jadi, perkembangan alam pikiran manusia sampai dengan kelahiran Ilmu
Pengetahuan Alam sebagai ilmu.
Dari sekian banyak ciri-ciri manusia sebagai makhluk
hidup, akal budi dan kemauan keras itulah yang merupakan sifat unik manusia.Rasa
ingin tahu, juga merupakan salah satu ciri khas manusia. Ia mempunyai kemampuan
untuk berpikir sehingga rasa keingintahuannya tidak tetap sepanjang zaman.
Karena apa? Karena manusia akan selalu bertanya apa, bagaimana dan mengapa
begitu. Manusia juga mampu menggunakan pengetahuannya yang terdahulu untuk
dikombinasikan dengan pengetahuan yang baru sehingga menjadi pengetahuan yang
lebih baru.
Ada dua macam perkembangan alam pikiran manusia, yakni
1. perkembangan alam pikiran manusia sejak
dilahirkan sampai akhir hayatnya dan
2. perkembangan alam pikiran manusia, sejak zaman
purba hingga dewasa ini.
Sejarah Pengetahuan yang diperoleh Manusia
Perkembangan lebih lanjut dari rasa ingin tahu manusia
ialah untuk memenuhi kebutuhan nonfisik atau kebutuhan alam pikirannya, untuk
itu manusia mereka-reka sendiri jawabannya.
A. Comte menyatakan bahwa ada tiga tahap sejarah
perkembangan manusia, yaitu tahap teologi (tahap metafisika), tahap filsafat
dan tahap positif (tahap ilmu). Mitos termasuk tahap teologi atau tahap
metafisika. Mitologi ialah pengetahuan tentang mitos yang merupakan kumpulan
cerita-cerita mitos. Cerita mitos sendiri ditularkan lewat tari-tarian,
nyanyian, wayang dan lain-lain.
Secara garis besar, mitos dibedakan atas tiga macam,
yaitu
v mitos
sebenarnya, cerita rakyat dan legenda.
v Mitos
timbul akibat keterbatasan pengetahuan,
v penalaran
dan panca indera manusia serta keingintahuan manusia yang telah dipenuhi
walaupun hanya sementara.
Kebanyakan kita memahami gempa sebagai ‘karya Tuhan’ yang
mengandung tiga kemungkinan makna : (a) cobaan atau ujian,
(b) teguran atau peringatan, dan
(c) azab atau
hukuman. Sesaat setelah gempa meluluh-lantakkan manusia,
biasanya
ramai-rama kita mengajukan pertanyaan introspektif: Apa salah dan dosa yang
sudah kita perbuat, sehingga Allah murka? Apakah penguasa, orang-orang kaya dan
sistem di negeri ini yang telah kufur dari ketentuan-Nya? Atau, apakah ini
hanya pertanda kasih sayang-Nya kepada kita?
Tanggapan lain, dan saya kira cukup menarik, datang dari
kalangan intelektual: ahli geologi dan kegempaan. Mereka menilai bahwa gempa
adalah proses alam ‘biasa’, yang dipicu oleh pergerakan lempeng bumi. Gempa terjadi jauh sebelum manusia hadir di
muka bumi ini. Sejak jutaan, atau bahkan milyaran tahun silam, gempa sudah
‘mewarnai’ hari-hari di bumi. Ia menjadi bencana manakala bersentuhan dengan
manusia. Artinya, secara saintifik, gempa pada dasarnya tak ada kaitannya
dengan perilaku manusia. Beda halnya dengan banjir atau longsor, yang memang
bisa disebabkan oleh penggundulan hutan dan sebagainya.
Jadi, makna saintifik dalam menyikapi gempa ini kurang
lebih: hendaknya manusia memahami perilaku alam dan berusaha untuk menyesuaikan
diri dengannya. Terlebih bagi kita yang hidup di Indonesia, yang bagian selatan
dan timur jauhnya dibatasi jalur gempa aktif.
Jadi dari fenomena alam yang terjadi dikotomi antara sikap “ilmiah” dan “religius”
dalam menyikapi bencana tidak lagi relevan, karena semuanya berujung pada satu
titik: Kehendak Allah. Dan Dia sudah menuliskan segala sesuatunya di dalam Lauh
Mahfud.
Sumber :
http://casdiraku.wordpress.com/2009/10/26/lauh-mahfud-jembatan-dalam-menyikapi-fenomena-gempa/